Problematika Pendidikan di Indonesia

Di era ini, pendidikan menjadi suatu hal yang penting. Dengan pendidikan, seorang dapat membangun kualitas hidup yang lebih baik bagi dirinya maupun keluarganya. Oleh karena itu, pembaruan dan pergerakan besar dalam bidang pendidikan kerap dilakukan. Tidak heran, pendidikan kemudian disebut sebagai tangga mobilitas sosial.

Indonesia masih memiliki banyak tantangan dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terkait dengan rendahnya mutu pendidikan, literasi, dan pemerataan pada daerah-daerah terpencil di perbatasan. Kendati wajib belajar 9 tahun sudah diterapkan, beberapa fasilitas penunjang akses pendidikan sepertihalnya beasiswa dan bantuan operasional sekolah telah diperkenalkan, sistem pengajaran juga telah berulang kali diperbarui, namun kualitas pendidikan di Indonesia ternyata masih jauh dari apa yang diharapkan.

Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment) tahun 2015 yang menunjukkan Indonesia baru bisa menduduki peringkat 69 dari 76 negara. Sedangkan dari hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study), menurut Ruri, menunjukkan siswa Indonesia berada pada ranking 36 dari 49 negara dalam hal melakukan prosedur ilmiah. ((Sanarapi, 2016. Pikiran Rakyat: Peringkat Pendidikan Indonesia Masih Rendah. [Online] Available at: http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/06/18/peringkat-pendidikan-indonesia-masih-rendah-372187 [Accessed 15 11 2016].)) Kedua data tersebut, menunjukkan bahwa posisi Indonesia selalu berada di sepuluh besar terburuk dibanding Negara-negara lain. Itu berarti, kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah.

Pemerataan Pendidikan

Dari segi infrastruktur dan fasilitas pendidikan, kondisi geografis Indonesia dengan bentuk Negara kepulauan membuat pemerataan pendidikan menjadi sangat sulit untuk di capai. Belum lagi luas Negara yang terbentang dari sabang sampai merauke, membuat jangkauan dari berbagai program pendidikan yang berasal dari pusat kurang sulit terjangkau oleh daerah-daerah perbatasan. Parahnya lagi, trickle down effect yang diharapkan dalam proses pembangunan infrastruktur di perkotaan dan daerah urban kurang menunjukkan hasil yang baik. Sehingga hingga kini pembangunan hanya berpusat pada beberapa tempat khususnya di pulau Jawa dan membuat daerah lainnya seolah sama sekali tidak tersentuh program pembangunan khususnya di bidang pendidikan.

Dari segi ketersediaan akses terhadap pendidikan, meskipun beberapa program seperti beasiswa telah mulai diperkenalkan namun program tersebut merupakan program yang terbatas pada kalangan tertentu dan diprioritaskan pada anak didik dengan prestasi dan kualifikasi tertentu. Sedangkan, hal tersebut hanya bisa diraih oleh anak-anak didik yang berasal dari keluarga menengah yang sanggup memberi keterampilan tambahan pada anak-anaknya di luar sekolah. Sedangkan, anak didik yang berasal dari masyarakat yang benar-benar tidak mampu dan kekurangan tidak benar-benar mendapatkan bantuan dan kemudahan dari program ini.

Akibatnya, hal tersebut sedikit banyak berdampak pada angka putus sekolah. Sekitar 946.013 siswa lulus SD yang ternyata tidak mampu melanjutkan ke tingkat menengah (SMP). Sedangkan 51.541 orang jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke SMP ternyata tidak lulus. Artinya, ada 997.445 orang anak Indonesia yang hanya berijazah SD di tahun 2015 hingga tahun 2016. ((Sahril, M., 2016. PojokSatu: Angka Putus Sekolah Masih Tinggi, SD Masih Banyak. [Online] Available at: http://pojoksatu.id/pendidikan/2016/10/18/angka-putus-sekolah-masih-tinggi-sd-paling-banyak/ [Accessed 15 11 2016].))

Kualitas dan Mutu Pendidikan

Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar. Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

Ketertinggalan tersebut dapat dilihat baik dalam pendidikan formal maupun informal. Hasil tersebut diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). ((Zulkarnaen, Z. H., 2014. Kompasiana: Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia. [Online] Available at: http://www.kompasiana.com/zicohadi/rendahnya-kualitas-pendidikan-di-indonesia_54f5f924a3331184118b45e6 [Accessed 15 11 2016].))

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran.

Efesiensi dan Relevansi Pendidikan

Pendidikan bagaikan wahana atau tempat dimana seorang ditempa untuk menjadi orang yang berguna dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal ini, pedidikan di Indonesia seolah tidak memiliki kesesuaian dengan pembangunan nasional setara kebutuhan perorangan, keluarga, dan masyarakat, baik dalam jangka pendek, maupun dalam jangka panjang. Berdasarkan laporan The Boston Consulting Group (BCG), jurang perbedaan antara kebutuhan industri dengan ketersediaan tenaga kerja pada 2020 diperkirakan mencapai 56%. Kebutuhan industri hampir mencapai 17 juta orang, sementara ketersediaan tenaker hanya 8 juta orang. ((Liputan6, 2013. Banyak Sarjana RI yang Bekerja Tak Sesuai Jurusan Saat Kuliah. [Online] Available at: http://bisnis.liputan6.com/read/599411/banyak-sarjana-ri-yang-bekerja-tak-sesuai-jurusan-saat-kuliah [Accessed 15 11 2016].))

Hal ini tentu dapat dilihat dari realitas tenaga berpendidikan yang menganggur, juga bagaimana seorang yang terdidik mengambil profesi di luar profesi yang diharapkannya atau keluar dari ranahnya sesuai dengan studi yang ia ambil sebelumnya. Jika hal ini dikaitkan dengan efesiensi pendidikan, tentu pendidikan di Indonesia sudah dapat dikatakan tidak efisien. Bagaimana seorang lulusan dari jurusan pertanian kemudian berbondong-bondong melamar pekerjaan di bank atau sektor lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan kegiatan studinya sebelumnya memberikan gambaran pada kita bahwasanya pendidikan di Indonesia berlangsung sudah sangat tidak relevan dan efisien dalam menjembatani segala cita-cita dan harapan anak didik untuk kehidupannya di masa depan. Dalam artian ini, pendidikan hanya sekedar menjadi sarana instrumental untuk dijadikan penegasan atas statatus seseorang yang dalam hal ini pendidikan tidak lebih sekedar kegiatan pemborosan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.