• Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Pelembagaan Pendidikan Pranikah Sebagai Pemutus Rantai Permasalahan dalam Keluarga

    Selama ini pengetahuan seputar pernikahan dan cara membangun sebuah keluarga ideal hanya dilakukan secara konvensional, dari orang tua ke anak ataupun dari mertua kepada menantu. Kebanyakan, proses tersebut dilakukan seiring berjalannya pernikahan itu sendiri. Pengetahuan seputar pernikahan dan cara membangun keluarga yang ideal kemudian menjadi persoalan yang seolah sederhana karena bisa dipelajari bersamaan dengan waktu. Parahnya lagi, pandangan patriarkis dalam masyarakat kita seolah menyudutkan perempuan sebagai satu-satunya subjek yang wajib menanggung beban besar tersebut. Akibatnya, anak dan perempuan selalu menjadi korban dalam setiap permasalahan yang dihadapi dalam sebuah keluarga.

    Pengetahuan akan kebutuhan bayi pada setiap periode umur tertentu, apa yang harus dikatakan dan tidak dikatakan, dilakukan dan tidak boleh dilakukan di depan anak, cara mengetahui kepribadian anak, metode pengasuhan anak berdasarkan kepribadian, dan bagaimana membangun komunikasi secara vertikal maupun horizontal perlu untuk diketahui baik oleh pihak pria maunpun wanita karena tanggung jawab dalam menjaga keharmonisan dalam keluarga adalah kewajiban keduanya.

    Budaya Nikah dan Problema Masyarakat di Indonesia

    Indonesia yang mayoritas penduduknya merupakan pemeluk agama Islam, menganggap pernikahan sebagai suatu proses yang sakral dalam kehidupan seorang manusia. Ketika seorang atau pasangan telah mencapai pada proses ini, seorang ataupun pasangan tersebut telah dianggap menyempurnakan setengah agamanya. Hal tersebut kemudian membuat banyak orang atau pasangan mensimplifikasi persoalan tentang pernikahan. Dengan dasar untuk menghindarkan dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari aturan moral maka pernikahan dianggap penting untuk disegerakan. Akibatnya, ketika seorang telah memiliki pekerjaan atau penghasilan—entah itu tetap atau tidak—dan telah mencapai usia yang ideal seorang dianjurkan dan disegerakan untuk melaksanakan pernikahan.

    Belum lagi dalam masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh nilai dan moralitas dalam hubungannya antara pria dan wanita—yang pada masyarakat tersebut gosip, cemoohan, dan sarkasme masih kerap digunakan sebagai kontrol sosial, pasangan yang diketahui telah melakukan hubungan layaknya suami istri atau bahkan mengandung janin di luar status pernikahan, pelaksanaan pernikahan dianggap penting untuk segera dilaksanakan untuk menghindari cemoohan dari masyarakat sekitar karena telah melanggar norma dan nilai masyarakat setempat. Akibatnya, keduanya secara dramatis memberikan sumbangan pada percepatan pernikahan pada pasangan di Indonesia. Muncullah fenomena para pengantin muda atau pasangan suami istri muda yang yang telah terikat oleh ikatan sakral tanpa pernah tahu dan merumuskan rencana kehidupan mereka bahka untuk sekedar merencanakan kehidupan lima tahun mendatang.

    Konstruksi tentang kesiapan untuk menikah yang disimplifikasi hanya sebatas pada usia dan materi untuk bisa bertahan dan hidup terpisah dari orang tua masing-masing membawa problematika tersendiri. Apalagi, ketika definisi dari sebuah keluarga di Indonesia tidak lengkap tanpa kehadiran seorang anak. Memiliki anak kemudian menjadi sesuatu yang harus disegerakan setelah prosesi pernikahan itu dilakukan. Akibatnya, tidak ada persiapan yang matang untuk hidup berdampingan dengan orang lain, juga hidup bersama untuk mengasuh anak. Semuanya persiapan tersebut, dilakukan secara bersamaan dalam proses berkeluarga. Bagaimana cara mendidik anak, makanan apa yang harus diberikan pada anak, apakah anak mendapatkan nutrisi yang cukup dari makanan yang dikonsumsinya, apakah kebiasaan-kebiasaan anak telah cukup untuk mendukung proses perkembangannya baik secara biologis maupun secara psikologis, juga proses penting apa yang harus diberikan kepada anak, dan berbagai seluk-beluk tentang pengasuhan anak dipelajari pada saat itu juga melalui binaan dari orang tua atau mertua dari sang ibu.

    Jika praktik tersebut kerap dilakukan, pengetahuan-pengetahuan terkait cara menjadi seorang ibu dan bagaimana cara membangun rumah tangga yang baik akan terus terdegradasi dari generasi ke-generasi karena proses pendidikan ini hanya dipelajari berdasarkan referensi yang bersifat tradisional. Sedangkan, akses informasi yang ada yang didapatkan secara mandiri belum bisa memberikan pengetahuan secara menyeluruh. Hal ini menjadi penting. Ketika

    Keluarga Sebagai Wadah Proses Reproduksi Sosial

    Trend meningkatnya jumlah pernikahan usia dini yang disebabkan oleh persoalan yang telah disebuatkan di atas menyebabkan pasangan suami-istri muda mengalami sebuah gejolak tersendiri. Apalagi, ketika pernikahan yang dilangsungkan belum pernah terpikirkan atau direncanakan jauh hari sebelumnya. Penyesuaian-penyesuaian terhadap peran dan tanggung jawab baru yang harus di emban termanifestasi sebagai konflik batin yang dialami oleh masing-masing pihak. Pada level ini, keduanya berada dalam suatu kondisi anomik. Ketidaksiapan dalam menerima beban-beban baru yang diemban dalam prosesnya dapat mengakibatkan gesekan dan benturan dalam keluarga. Kondisi demikian yang tidak bisa dikomunikasikan akan menjadi persoalan tersendiri. Misalkan kekerasan, baik fisik maupun verbal, penelantaran anak yang berujung pada kenakalan, hingga eksploitasi. Sekali lagi, yang menjadi korban dalam konteks ini lagi-lagi adalah anak dan perempuan. Ironisnya, komunikasi antara suami dan istri bukan merupakan suatu hal yang diajarkan kepada setiap keluarga.

    Apa yang kemudian sangat disayangkan adalah bahwasanya kesalahan-kesalahan dalam membangun sebuah keluarga yang ideal sedikit banyak berpengaruh pada gagalnya pula keluarga yang dibangun oleh anak yang mengalami kegagalan dalam kehidupan sebelumnya. Hal ini, tentu bisa dilihat dari bagaimana kekerasan dalam rumah tangga terjadi dan dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki bayang kekerasan pada masa lalunya (C.M. Murphy, Meyer, & O’Leary, 1993). Dalam konteks ini, keluarga menjadi wadah dalam proses reproduksi sosial. Artinya, berbagai masalah dalam keluarga akan sangat mungkin diturunkan dan terjadi pada generasi setelahnya.  Belum lagi, kesalahan-kesalahan orang tua dalam proses pendidikan anak juga akan terus dipelajari dan diturunkan pada generasi-generasi berikutnya tanpa ada pengetahuan yang cukup akan pembenaran apa yang seharusnya dilakukan. Akibatnya tentu bisa dibayangkan, generasi yang semakin melemah karena kultur dan mentalitas yang kian terdegradasi dari generasi ke-generasi. Pada pengertian ini, lembaga keluarga beserta proses sosialisasi yang kurang sempurna didalamnya seolah menjadi proses reproduksi lingkaran setan permasalahan dalam keluarga dan oleh karenanya, lingkaran ini harus diputus dengan solusi yang komprehensif.

    Pelembagaan Pendidikan Pranikah Sebagai Sebuah Solusi

    Banyak penelitian tentang parenting yang telah dilakukan dan berkembang. Namun sayangnya, hasil dari penelitian-penelitian tersebut terkadang lebih sering dibiarkan bertumpukan dan tertutup debu. Pada pengertian ini, banyak penelitian tentang parenting dan tata kelola berkeluarga hanya menjadi diskusi akademis yang terus dikembangkan dan hanya bertengger pada pustaka tanpa ada dampak nyata bagi masyarakat secara luas. Masyarakat dengan budaya membaca yang rendah tidak akan mampu mengakses pengetahuan tersebut. Oleh karenanya, akademisi dengan tri dharma perguruan tingginya memiliki tanggung jawab untuk merangkai pengetahuan-pengetahuan tersebut kedalam konten dalam bentuk yang lebih proaktif yang mampu mampu diterima oleh berbagai kalangan sehingga pengetahuan tersebut tidak akan usang dalam tumbukan buku-buku yang mulai berdebu.

    Pelembagaan pendidikan pranikah menjadi jawaban dari sekelumit permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya. Pendidikan pranikah akan menjadi jembatan yang menghubungkan penelitian-penelitian actual yang dilakukan oleh akadmisi dengan masyarakat umum melalui konten-konten yang lebih menarik. Pendidikan pranikah yang memberikan pemahaman terkait dengan seluk-beluk pernikahan, kendala-kendala umum yang dihadapi dalam pernikahan, hingga manajemen waktu, uang, dan tenaga dalam berkeluarga diharapkan dapat menyadarkan pasangan tentang persiapan-persiapan yang harus mereka pertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan untuk memiliki anak, atau bahkan menikah.

    Pendidikan ini bisa dimulai sebelum pernikahan dimulai. Sesuai dengan aturan yang telah ada, seorang pasangan wajib melampirkan surat izin untuk menikah dari TR/RW setempat. Sebelumnya, seorang mendapatkan izin tersebut, pasangan masing-masing harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan dengan mendapatkan sertifikat kelayakan untuk menikah dengan menempuh serangkaian pendidikan yang dirancang dengan sistem bertahap. Setelah mencapai proses tersebut, barulah prosesi pernikahan bisa dilakukan secara legal. Mungkin program ini akan cenderung mempersulit pernikahan, tapi faktanya mengurus persyaratan pernikahan di Indonesia terlalu mudah sehingga siapa saja yang telah sepakat untuk menikah bisa segera mengajukan berkas-berkas untuk kemudian disetujui. Meskipun demikian, gagasan ini tidak akan membebani pasangan, karena proses pendidikan akan dilaksanakan berdasarkan satu waktu tertentu sesuai dengan preferensi pasangan yang akan menikah, juga dilakukan dengan basis komunitas, yaitu dengan memberdayaan organisasi-organisasi sosial di sekitar tempat tinggal calon penganting, sehingga tidak hanya dapat memberikan edukasi namun juga dapat mempererat interaksi sosial antar tetangga.

    Dengan sistem gagasan ini, aspek-aspek tentang pentingnya nutrisi anak di awal pertumbuhannya dapat diketahui oleh orang tua secara menyeluruh. Pengetahuan yang cukup terhadap makanan terbaik untuk anak, makanan pengganti, juga pelengkap akan bisa memberi batasan dan kebiasaan pada perilaku makan anak dalam kesehariannya, model atau metode pendidikan, hingga pola komunikasi baik secara horizontal maupun vertikal dapat diketahui dan dipelajari lebih awal dengan bimbingan para ahli yang lebih bersifat mengawasi ketimbang melaksanakan setiap proses sosialisasi. Selain itu, pendidikan parenting yang dilakukan sebelum pernikahan dimulai dapat memberikan waktu pada pasangan untuk mempersiapkan segala kebutuhan yang dilakukan sebelum akhirnya memutuskan untuk memiliki anak, termasuk memberikan kesempatan untuk meyakinkan bahwa nantinya anak akan mendapatkan nutrisi yang cukup bahkan ketika mereka ada di sekolah.

    Dalam tradisi pernikahan di Indonesia, menjadi mandiri setelah menikah dan memisahkan diri dari kedua orang tua merupakan suatu harga diri anak yang telah menikah. Hal tersebut, mempengaruhi bagaimana penggunaan mas kawin pada sepasang suami-istri untuk lebih berfokus pada konsumsi-konsumsi atas kebutuhan fisik sepertihalnya rumah, perabotan, dan sebagainya. Dengan memberikan pendidikan tentang parenting sebelum prosesi pernikahan itu berlangsung, keduanya bisa merancang strategi dalam pengalokasian sumberdaya awal yang mereka miliki dan menyusun skala prioritas terhadapnya untuk kemudian berfokus pada konsumsi kebutuhan anak di masa pertumbuhan sebelum mengalokasikannya pada jenis konsumsi lainnya.

    Harapannya hal ini akan secara dramatis mampu meningkatkan kepedulian orang tua terhadap nutrisi anak di awal perkembangannya, terutama pada saat menyusui, juga pada saat bagaimana mereka memperhatikan akses-akses anak terhadap nutrisi yang cukup melalui pemilihan institusi sekolah yang baik, dan juga memberikan dampak yang positif pada anak terkait makanan seimbang yang layak mereka konsumsi dengan takaran yang cukup dan dengan variasi yang beragam sehingga pada akhirnya kesejahteraan anak yang menjadi tujuan utama dari gagasan ini dapat kita lihat bersama pada generasi-generasi yang akan datang. Selain itu, program ini diharapkan mampu meminimalisir berbagai tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi karena kurangnya komunikasi dan renggangnya hubungan antara suami dan istri karena luputnya hal-hal spesifik yang belum diketahui atau dipelajari dalam menjalankan sebuah rumah tangga.

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.

  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO