• Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Perbedaan antara Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif

    Dalam sebuah penelitian, banyak sekali metode ((Beberapa ahli membagi jenis dan macam metode penelitian yang lazim digunakan berdasarkan klasifikasi spesifi sepertihalnya pada paradigma yang digunakan, dorongannya, jenis realitasnya, sifat masalah, dan tingkat eksplanasinya, Sugiyono (2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung. Pusat Bahasa Depdiknas:11) misalnya. Kendati terdiri dari berbagai macam metode, kesemuanya tetap bisa dikenali perbedaannya melalui tradisi-tradisi khas yang selalu ada pada metode kualitatif dan kuantitaif. Oleh karenanya, lebih lanjut saya akan lebih sering menyebut tradisi kuantitatif/kualitatif alih-alih metode penelitian kuantitatif/kualitatif.)) yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ataupun fokus penelitian yang diajukan. Diskusi tentang perbedaan-perbedaan, esensi mendasar, serta keunggulan tiap-tiap metode dalam mengungkap realitas sosial tidak pernah lepas dari diskusi panjang mengenai perbedaan metode penelitian kualitatif dan Kualitatif.

    Perbedaan Menyolok

    Antara keduanya, jika dibandingkan memiliki beberapa perbedaan yang menyolok, perbedaan tersebut tidak terlepas dari beberapa perbedaan yang dapat dilihat secara sekilas. Sepertihalnya pada sampel yang diambil. Pada penelitian kuantitatif, sampel yang diambil memiliki jumlah yang cukup banyak dengan perolehan data yang tidak terlalu dalam atau hanya menggambarkan permukaan dari permasalahan yang ingin diteliti, sebaliknya metode penelitian kualitatif menggunakan sampel/informan ((Kendati demikian, tradisi kualitatif tidak memiliki sampel. Karena pada dasarnya apa yang diyakini eksis sebagai instrumen sumber data adalah informan atau subjek penelitian. Hal ini tidaklah mengherankan, karena tradisi kualitatif melihat sumber data sebagai subjek, begitu pula sebaliknya pada tradisi penelitian kuantitatif yang melihat sumber data sebagai objek.)) yang relatif sedikit namun dengan temuan data yang cukup holistik ataupun mendalam yang mencakup seluruh tema-tema terkait permasalahan dalam penelitian.

    Kendati perbedaan diatas kerap digunakan sebagai patokan secara umum dalam melihat perbedaan antar keduanya, namun fakta bahwa metodologi penelitian selalu memperbarui dirinya sesuai dengan perubahan pada realitas yang terjadi dalam masyarakat dan kebutuhan untuk mengungkap realitas tersebut, maka menggunakan dasar-dasar di atas untuk membedakan bagaimana kedua metode ini berbeda agaknya kurang bisa diterima.

    Ketika konsep tentang Mix Method mulai diterima oleh akademisi, perbedaan dari ciri khas kedua metode tersebut kemudian melebur menjadi satu karena memang dalam beberapa kasus ciri atau tradisi khusus pada masing-masing metode digunakan bersamaan dan saling melengkapi alih-alih bersebrangan dan mengacaukan proses interpretasi data.

    Perbedaan Mendasar

    Oleh karena itu, apa yang membuat keduanya tetaplah berbeda adalah pada hal-hal mendasar yang tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan epistimologi dari kedua metode tersebut. Mengapa metode atau cara tersebut digunakan untuk melihat, mengungkap, menjelaskan, ataupun menelanjangi fakta dan realitas sosial yang terjadi?

    Adalah pada bingkai keilmuan atau paradigma yang digunakan dalam melihat sebuah gejala yang kemudian menjadi hal mendasar yang bisa kita tandai pada dua metode yang bersebrangan ((Dengan asumsi bahwa ketika seseorang memahami salah satu metode secara holistik, kualitatif misalnya mulai dari cara berpikir, bagaimana melihat sebuah masalah, merumuskan pertanyaan, menentukan instrumen penelitian, pengumpulan data, analisis, hingga penarikan kesimpulan, maka seseorang dianggap mengerti atau memahami setidaknya gambaran umum terkait perbedaan-perbedaan yang mendasar antara keduanya.)) ini. Ada banyak paradigma yang kemudian dikembangkan dalam ilmu sosial, sepertihalnya paradigma konstruktivis, kritis, dan postmodernisme ((Ketiga paradigma ini eksis dalam pembasan terkait berbagai macam paradigm yang dikembangkan oleh Egon G. Guba (1990) dalam bukunya yang berjudul The Paradigm Dialog.)). Namun, dalam kaitannya dengan tema ini, saya akan lebih banyak membahas tentang paradigma positivistik yang memandang setiap permasalahan secara deduktif dan humanisme/interpretatif/postpositivis yang memandang sebuah permasalahan secara induktif.

    Paradigma positivis secara historis merupakan pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif ((Melihat sebuah permasalahan dengan terlebih dahulu mengaitkannya dengan teori ataupun pengetahuan yang diterima secara luas sebagai sebuah kebenaran untuk kemudia diuji kembali apakah teori atau pengetahuan umum tersebut masih layak atau cukup kuat untuk dipercaya.)) dan penggunaan alat‐alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data‐data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif ((Neuman, W.L. (2003) Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. Boston: Allyn and Bacon.)) Oleh karenanya, paradigma ini melihat sebuah kebenaran sebagai suatu hal yang tunggal dan kegiatan penelitian biasanya dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan atau menguji teori yang sudah ada dan memutuskan apakah teori atau pengetahuan tersebut masih bisa diterima melalui simpulan dan masukan-masukan dalam penelitian.

    Sebaliknya, paradigma interpretatif terlahir dari pemikiran para filsafat yang menentang tradisi dalam penelitian-penelitian ilmu eksakta yang menganggap bahwa ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, dan oleh karenanya pendekatan ini lebih memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Oleh karenanya paradigma ini meyakini realitas yang sesungguhnya tidak pernah terpisah dari subjek ataupun masyarakat yang sedang diteliti ((Ghozali, I, dan A. Chariri, 2007, Teori Akuntansi, Badan Penerbit Undip, Semarang.)) dan oleh karena itu pendekatan ini meyakini kebenaran yang tunggal hanya sebuah angan-angan.

    Kedua persoalan yang mendasar ini, tentunya dalam prosesnya berpengaruh terhadap tradisi-tradisi penelitian yang kemudian dikembangkan ((Yang kemudian di awal pembahasan telah disebut sebagai perbedaan menyolok antara keduanya (metode penelitian kuantitatif dan kualitatif).)), seperti pada bagaimana keduanya melihat sifat realitas sosial, cara menangkap realitas tersebut, konsep tentang ilmu, prespektif teori yang digunakan, hingga tujuan dari penelitian itu sendiri. Lebih mendetil, tabel berikut menggambarkan beberapa perbedaan-perbedaan tersebut.

    Tradisi Kuantitatif

    Tradisi Kualitatif

    Sifat Realitas Sosial Objektif (peneliti adalah ahlinya) Subjektif (informan adalah ahlinya)
    Diluar “pikiran manusia”

    Untuk ditemukan

    Di dalam pikiran manusia

    Dikonstruksi / diciptakan

    Dimengerti melalui akal Tidak sekedar “ditemukan”
    Dimengerti secara seragam semua orang Diinterpretasi secara berbeda-beda
    Realitas tunggal Realitas ganda
    Cara Menangkap Realitas Melalui angket/kuesioner Melalui dialog/percakapan
    Analisis terhadap angka Analisis terhadap dialog/percakapan
    Tidak melibatkan perasaan/emosi Melibatkan emosi yang ditunjukkan oleh gestur, gaya bahasa, dan mimik wajah
    Konsep tentang Ilmu Berdasarkan atas aturan dan prosedur ketat Berdasarkan atas hal-hal umum
    Diperoleh secara deduktif Diperoleh secara induktif
    Percaya pada kesan indrawi Percaya pada interpretasi
    Bebas nilai Tidak bebas nilai
    Perspektif teori yang digunakan Positivisme Interaksi simbolik
    Neopositivisme Fenomenologi
    Struktural-fungsional Etnometodologi
    Etnografi
    Sosiolinguistik
    Tujuan penelitian Menjelaskan kehidupan sosial Menginterpretasikan kehidupan sosial
    Memprediksi kejadian-kejadian dari kehidupan sosial Mengerti kehidupan sosial
    Mengungkap makna sosial manusia

    Paradigma dalam penelitian Mix Metodologi

    Beberapa ahli kurang bisa menerima metode yang merupakan percampuran pada kedua metode yang seharusnya berjalan secara berlawanan ini. Namun, kebutuhan akan generalisasi pada populasi yang luas dengan pertimbangan spesifik yang hanya bisa didapatkan melalui pendekatan yang lebih humanistik membuat metode campuran ini kini lebih banyak digunakan dalam beberapa penelitian sosial.

    Kendati demikian, meskipun dijalankan secara bersama-sama, keduanya tidak pernah mendapatkan porsi yang sama. Dalam artian, satu metode menjadi metode awal, pijakan, dan mendominasi. Sedangkan, metode lainnya merupakan pelengkap yang dapat mendukung temuan-temuan dari metode atau paradigma utama yang digunakan dalam penelitian. Biasanya, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan tetaplah memiliki ciri khas dari salah satu metode, begitu pula pada jawaban yang ditawarkan.

    Apa yang membuatnya kemudian disebut mix metodologi ialah pada variasi data yang berupa keduanya, angka dan dialog, begitu pula dengan variasi analisis yang cukup beragam dan kaya namun akan tetap dijawab dengan tradisi penelitian yang dominan. Oleh karenanya, beberapa ahli kemudian lebih senang menyebut metode campuran ini dengan Mix Data Collecting Method.

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.

  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO